Hot Spotan di Pekalongan untuk siapa?
Oleh : Blog'de
Kali ini saya berada di Kota batik Pekalongan,melihat tampilan alun-alun kota Pekalongan saat ini sungguh menyegarkan mata. Lapak-lapak pedagang kaki lima dan kantong-kantong parkir yang dulu tampak "mengotori" kawasan alun-alun, kini telah tertata rapi di seputaran lapangan. Di tengah lapangan, hanya ada hamparan rumput hijau yang terpotong rapi. Pemerintah kota tampaknya serius menangani penanda kota ini.
Saat saya menghidupkan perangkat wi-fi di laptop, tampak indikator jaringan hotspot berkedip-kedip. Ada empat sinyal wi-fi gratis di alun-alun Pekalongan, dengan kecepatan akses yang lumayan. Namun, keasyikan berselancar agak terganggu dengan kehadiran seseorang tak dikenal yang mendadak menghampiri dan mengamati gerak-gerik saya.
Saya pun melihat sekeliling, dan ternyata, hanya saya sendirian yang membawa laptop. Tidak ada gerombolan muda-mudi yang kerap saya temui di tempat-tempat yang menyediakan hot spot gratisan. Khawatir terjadi sesuatu yang tak diinginkan, saya pun segera mengemasi barang-barang, dan beranjak ke mal yang berada tak jauh dari alun-alun.
Pemerintah memang telah menata ulang alun-alun serta memberikan fasilitas hotspot gratis. Namun, rupanya, fasilitas itu belum menarik minat para "hotspoters" Pekalongan. Buktinya, tak banyak pengunjung yang memanfaatkan jaringan internet gratis ini. Mereka lebih banyak terlihat bergerombol di kafe-kafe yang menyediakan fasilitas serupa.
Padahal, bila mau, para pengguna laptop dapat berselancar dengan sinyal wi-fi tak berbayar, sembari menikmati suasana serta sajian makanan dan minuman di seputaran alun-alun kota. Namun, ketidaknyamanan menjadi alasan para hostpoters ini enggan berlama-lama di rerumputan hijau alun-alun yang menggoda itu.
Saya pun melihat sekeliling, dan ternyata, hanya saya sendirian yang membawa laptop. Tidak ada gerombolan muda-mudi yang kerap saya temui di tempat-tempat yang menyediakan hot spot gratisan. Khawatir terjadi sesuatu yang tak diinginkan, saya pun segera mengemasi barang-barang, dan beranjak ke mal yang berada tak jauh dari alun-alun.
Pemerintah memang telah menata ulang alun-alun serta memberikan fasilitas hotspot gratis. Namun, rupanya, fasilitas itu belum menarik minat para "hotspoters" Pekalongan. Buktinya, tak banyak pengunjung yang memanfaatkan jaringan internet gratis ini. Mereka lebih banyak terlihat bergerombol di kafe-kafe yang menyediakan fasilitas serupa.
Padahal, bila mau, para pengguna laptop dapat berselancar dengan sinyal wi-fi tak berbayar, sembari menikmati suasana serta sajian makanan dan minuman di seputaran alun-alun kota. Namun, ketidaknyamanan menjadi alasan para hostpoters ini enggan berlama-lama di rerumputan hijau alun-alun yang menggoda itu.
Selain petugas keamanan, rasa nyaman bisa dibentuk dengan "pengamanan bersama". Artinya, para pengunjung secara bersama-sama menjaga keamanan mereka sendiri. Caranya, tentu saja, dengan saling berinteraksi. Bila komunikasi telah terjalin, rasa saling percaya akan muncul. Tidak akan ada rasa curiga kepada orang di sekitar.
Untuk menumbuhkan ini, dibutuhkan waktu tidak sedikit. Diperlukan pula kontribusi pemerintah untuk menyediakan infrastruktur yang memadai agar menarik semakin banyak orang berlama-lama menghabiskan waktu di alun-alun.
Saat ini, memang, kawasan itu telah tertata rapi. Rerumputan hijau itu pun cukup nyaman untuk disinggahi. Namun, belum ada bangku-bangku taman di bawah rindangnya beringin besar di sudut dan pinggir lapangan. Di siang yang terik, kehadiran bangku di bawah rerimbunan pohon, pasti akan sangat menarik.
Bangku-bangku taman, juga lebih berguna bagi pengunjung ketimbang videotron raksasa di sisi timur lapangan yang hampir sepanjang hari menyiarkan iklan dari sponsor.
Pasokan listrik juga menjadi hal penting bagi para pemburu hotspot. Sebab, daya tahan baterai laptop seringkali tak maksimal. Soal ini, Pemkot dapat belajar dari Pemkab Batang. Di alun-alun kota tetangga itu, disediakan ratusan stop kontak beraliran listrik bagi pedagang dan pengunjung. Pedagang yang memanfaatkan listrik itu dimintai retribusi Rp 1.000 perhari. Sementara, para pengunjung yang mengecas laptopnya tak dikenai biaya.
Bila memang pemerintah serius mengolah kawasan alun-alun kota, maka hal-hal "perinthilan" macam ini pun seharusnya menjadi perhatian. Jadi, bukan hanya menyediakan fasilitas dan lantas mengabaikan efektivitas penggunaannya. Evaluasi harus terus dikalukan, agar proyek berbiaya mahal itu tak hanya menjadi sekadar "proyek mercusuar".
*foto dr sini