Mengukur kesederajatan Perempuan
salam kenal semuanya,,sementara aan sedang hibernasi,postingan saya ambil alih dengan tidak semena-mena tentunya,panggil saja saya Faja,temanya aan
=================
Setiap tahun menjelang peringatan Hari Kartini, selalu saja ada kemasgulan yang menerpa hati dan kegalauan dalam pikiran saya. Perjuangan Kartini untuk memberdayakan kaumnya telah berjalan lebih dari seabad lamanya, jika buku beliau "Door Duisternis Tot Licht" dianggap sebagai titik tolak. Karikatur harian KOMPAS hari ini menangkap dengan baik kondisi terkini perjuangan Putri Jepara ini "HABIS GELAP TERBITLAH TERANG...TAPI KINI KEMBALI GELAP 'BU...". Daftar "kegelapan" pun ditulis di sana antara lain: pemerkosaan anak, kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan TKW, dst. Tentu masih banyak deretan contoh kegelapan yang masih dialami kaum perempuan, justru ketika Reformasi dan gerakan pengarus utamaan gender berkembang pesat di akhir abad ke duapuluh dan awal duapuluh satu ini.
Sebagai seorang ayah dari seorang anak perempuan yang semata wayang, barangkali kegundahan saya bukanlah pada soal pendidikan dan karir yang akan dicapainya. Kalau hanya soal ini, saya kira anak saya termasuk yang bisa dikatakan beruntung karena ia telah menikmati pendidikan yang baik dan berpotensi memberinya kemungkinan berkarir yang juga baik. Kegundahan itu justru muncul manakala saya merenungkan apakah masalah pengarus-utamaan gender dan pemberdayaan kaum perempuan selalu memakai kriteria dan ukuran capaian kaum laki-laki saja? Padahal dalam hal tertentu, justru kualitas kaum lelaki justru makin jauh terbelakang dan mestinya harus ditingkatkan supaya "sejajar" dengan kaum perempuan.
=================
Setiap tahun menjelang peringatan Hari Kartini, selalu saja ada kemasgulan yang menerpa hati dan kegalauan dalam pikiran saya. Perjuangan Kartini untuk memberdayakan kaumnya telah berjalan lebih dari seabad lamanya, jika buku beliau "Door Duisternis Tot Licht" dianggap sebagai titik tolak. Karikatur harian KOMPAS hari ini menangkap dengan baik kondisi terkini perjuangan Putri Jepara ini "HABIS GELAP TERBITLAH TERANG...TAPI KINI KEMBALI GELAP 'BU...". Daftar "kegelapan" pun ditulis di sana antara lain: pemerkosaan anak, kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan TKW, dst. Tentu masih banyak deretan contoh kegelapan yang masih dialami kaum perempuan, justru ketika Reformasi dan gerakan pengarus utamaan gender berkembang pesat di akhir abad ke duapuluh dan awal duapuluh satu ini.
Sebagai seorang ayah dari seorang anak perempuan yang semata wayang, barangkali kegundahan saya bukanlah pada soal pendidikan dan karir yang akan dicapainya. Kalau hanya soal ini, saya kira anak saya termasuk yang bisa dikatakan beruntung karena ia telah menikmati pendidikan yang baik dan berpotensi memberinya kemungkinan berkarir yang juga baik. Kegundahan itu justru muncul manakala saya merenungkan apakah masalah pengarus-utamaan gender dan pemberdayaan kaum perempuan selalu memakai kriteria dan ukuran capaian kaum laki-laki saja? Padahal dalam hal tertentu, justru kualitas kaum lelaki justru makin jauh terbelakang dan mestinya harus ditingkatkan supaya "sejajar" dengan kaum perempuan.
Tengok saja kualitas dalam intelektualitas mereka. Dimana-mana saya mendapati data bahwa murid/mahasiswa perempuan makin cenderung lebih bagus capaiannya ketimbang murid/mahasiswa laki-laki. Bahkan di negara seperti Qatar dan Uni Emirat Arab, jumlah mahasiswa perempuan jauh lebih banyak dari laki-laki. Kendati posisi CEO cenderung masih didominasi kaum laki-laki, kini trendnya sudah mulai konsisten bahwa jabatan bergengsi ini juga makin banyak dipegang perempuan. Militer yang dulunya adalah jagadnya laki-laki, kini tak bisa membendung munculnya perwira tinggi perempuan dengan segebok capaian mereka yang tak kalah hebat. Konon hari Kartini tahun ini juga ditandai diangkatnya Komandan Koramil perempuan pertama di negeri kita.!
Jadi mengukur 'kesedarajatan" kaum perempuan sebagai hak asasi hanya dengan kriteria capaian lakik-laki, barangkali tidak terlalu pas lagi dengan tuntutan kemajuan. Sebab jika kesederajatan "fisik" itu terlampaui, seolah-olah urusan pemberdayaan perempuan sudah selesai atau sukses. Bagi saya, ukuran yang lebih substantif adalah bagaimana kaum perempuan disederajatkan dalam kemanusiaannya (humanness), karena kendati secara lahiriah perempuan di negara maju telah setara dengan kaum lelaki, ternyata derajat kemanusiaannya masih belum. Ini tampak pada bagaimana wacana dan kiprah keseharian yang tetap saja, baik disadari atau tidak, menafikan individualitas dan kemandirian kaum perempuan. Apalagi manakala wacana dan kiprah tersebut disertai dengan pandangan-pandangan agama dan budaya yang seolah-olah imun dengan realitas di luar dan perkembangan sejarah. Maka terjadilah ironi ketika perempuan (secara tampilan lahiriah) menjadi semakin "konservatif", ia semakin menemukan "kebebasannya." Atau manakal suatu masyarakat yang mengklaim sebagai masyarakat yang menjunjung kebebasan bagi sesama manusia, tetapi tidak toleran terhadap cara berpakain sekelompok perempuan dengan menuduh itu sebagai representasi dari penindasan.!
Gerakan pengarusutamaan gender dan pemberdayaan perempuan di negeri ini, sudah waktunya tidak terjebak dalam paradigma biner dan dikotomistik, sehingga perjuangan mereka hanya melihat lelaki sebagai satu-satunya kaca benggala (mirror image). Sambil tetap meningkatkan kualitas fisik yang memang harus diakui masih didiskriminasi oleh ideologi dan rezim patriarki, perjuangan tersebut harus memperjuangkan masalah yang lebih dalam yaitu nilai kemanusiaan perempuan sebagai manusia yang diciptakan oleh sang Pencipta dengan sempurna. Sejarahlah yang kemudian merenggut "kemanusiaan" kaum perempuan sehingga mereka diposisikan inferior. Memanusiakan kaum perempuan, saya kira, yang seyogyanya menjadi kebutuhan universal yang lebih penting dan utama dimasa-masa yang akan datang.
Jadi mengukur 'kesedarajatan" kaum perempuan sebagai hak asasi hanya dengan kriteria capaian lakik-laki, barangkali tidak terlalu pas lagi dengan tuntutan kemajuan. Sebab jika kesederajatan "fisik" itu terlampaui, seolah-olah urusan pemberdayaan perempuan sudah selesai atau sukses. Bagi saya, ukuran yang lebih substantif adalah bagaimana kaum perempuan disederajatkan dalam kemanusiaannya (humanness), karena kendati secara lahiriah perempuan di negara maju telah setara dengan kaum lelaki, ternyata derajat kemanusiaannya masih belum. Ini tampak pada bagaimana wacana dan kiprah keseharian yang tetap saja, baik disadari atau tidak, menafikan individualitas dan kemandirian kaum perempuan. Apalagi manakala wacana dan kiprah tersebut disertai dengan pandangan-pandangan agama dan budaya yang seolah-olah imun dengan realitas di luar dan perkembangan sejarah. Maka terjadilah ironi ketika perempuan (secara tampilan lahiriah) menjadi semakin "konservatif", ia semakin menemukan "kebebasannya." Atau manakal suatu masyarakat yang mengklaim sebagai masyarakat yang menjunjung kebebasan bagi sesama manusia, tetapi tidak toleran terhadap cara berpakain sekelompok perempuan dengan menuduh itu sebagai representasi dari penindasan.!
Gerakan pengarusutamaan gender dan pemberdayaan perempuan di negeri ini, sudah waktunya tidak terjebak dalam paradigma biner dan dikotomistik, sehingga perjuangan mereka hanya melihat lelaki sebagai satu-satunya kaca benggala (mirror image). Sambil tetap meningkatkan kualitas fisik yang memang harus diakui masih didiskriminasi oleh ideologi dan rezim patriarki, perjuangan tersebut harus memperjuangkan masalah yang lebih dalam yaitu nilai kemanusiaan perempuan sebagai manusia yang diciptakan oleh sang Pencipta dengan sempurna. Sejarahlah yang kemudian merenggut "kemanusiaan" kaum perempuan sehingga mereka diposisikan inferior. Memanusiakan kaum perempuan, saya kira, yang seyogyanya menjadi kebutuhan universal yang lebih penting dan utama dimasa-masa yang akan datang.
selamat hari kartini!
Selamat hari Kartini,.;-), di indonesia rumit jg urusanx lo perempuan jd pemimpin. Entr di hubung2kn dgn agama..contohx aj dl wakt mega wati jd presiden , bnyak yg kontra. Maux hanya2 kaum lekaki aj yg bleh..alasanx agama di jdikan patokan. Seolah olah perempuan memang harus dibawah kaum para lelaki di bidang apapun tanpa terkecuali. Pemahaman yg keliru menurut saya pribadi...
BalasHapuswaduh, ada penulis pengganti ya di blog ini, enak juga nih jadi nggak bakalan kekurangan ide postingan...
BalasHapushmm emansipasi wanita ya...
BalasHapusselamat hari kartini aja deh...
wow keren ada pengganti,idenya gak bakalan abis y....selamat hari Kartini lmbat sehari..
BalasHapusselamat hari kartini!
BalasHapuspostingannya sangat menarik dengan memberikan sudut pandang yang juga sangat menarik. Salam
BalasHapus:c selamat hari kartini aja ya ,, Memang survey membuktikan sob ,, banyak sekali siswi yang lebih OK dibanding wanita aeh salah dibanding siswa trus ,, banyak juga cowok yang punya badan besar tinggi kuat tapi coba diputusin ceweknya , langsung lumpuh sob,,ini tidak main2 , wanita luar biasa ,,
BalasHapussetuju bro...
BalasHapusselamat hari kartini.....
met hari Kartini all.. hehhee.. :)
BalasHapus@ Rataose..Itulah sebabnya mengapa perjuangan kaum perempuan jangan hanya soal kesetaraan dg lelaki sebagai satu-satunya paradigma. Coba kalau soal kepemimpinan perempuan itu dilihat dari sisi HAM, mungkin akan beda dengan kalau kita gegeran soal itu dari segi laki-laki vs perempuan.
BalasHapus@ dimas,,sedang berproses menjadi blog kroyokan
BalasHapus@ Artikel Internet,,ya begitulah menyesuaikan tema
BalasHapus@ elpha,,lama ngga mampir nih mba,,met hari kartini ,,maju terus perempuan indonesia!
BalasHapus@ yesuyasah,mundo,alrez,bloger ceria,mas jhonson...makasih udah mampir,,jangan ngucapin met hr kartini ma gw doong..:c
BalasHapusslmat hari akrtini semoga akan bnyak kartini yg benar luar biasa seperti kartini yang dulu...
BalasHapusmampir ja mas...
hmmm postingan ini sebagai tulisan menyambut hari kartini yaw
BalasHapusselamat hari kartini buat smua
selamat hari kartini juga
BalasHapusSeperti biasa, artikel di sini slalu membuatku senyam-senyum.... Pokoke klo dah mampir ke tini... Keep smiling lah. he he he..
BalasHapusBTW d Note FB ada tak posting ttg 'Penyimpangan Sejarah Kartini'. Walopun g' d tag.. d tunggu koment nya.
Salam kreatifitas..!
mantab (pake B) nih, aan punya second-Line penuLis. hehehe.
BalasHapuswah enak ya mas aan...punya penulis lain di blognya...kan enak kalo lagi berhalangan bisa minta tolong di isiin...
BalasHapusjalan2 pagi ketempat sahabat sambil mencari informasi2 terbaru...
BalasHapusIbu Kartini selalu menjadi sumber inspirasi bagi kaum wanita di Indonesia... Beliau jga menjadi besar krn menerima pendidikan dr suaminya yg notabene berpendidikan cukup tinggi pd zamannya... ditambah lingkup pergaulan di kalangan elit, menambah wawasan beliau utk mengembangkan potensi dirinya... Di Indonesia, kesetaraan gender belum bisa maksimal, krn adanya ego dr kaum lelaki... wehehe... jujur az, mana ad sih laki2 yg mau kalah sama perempuan? Dlm segala bidang, contohnya : gimana klo penghasilan istri lbh besar drpd suami... qra2 ego suami terusik gak? ... Hehehe... okelah kalaw begituw, klo diterusin kepanjangan neeehh.. SELAMAT HARI KARTINI ... semoga cita2 beliau tercapai ... sukses bwt mas Aan... lanjuuuuuttttt sob
BalasHapuscity hotels, important site to guide your satifaction night
BalasHapusmet malam kawan,
BalasHapuswah telat ne..maaf ya..
gpp deh,,, selamat hari KARTINI juga..
kan masih ada...hhee
Selamat Hari Kartini buat semuanya!
BalasHapussippp... Link udah terpasang.. hehe. :)
BalasHapuskalo menurut saya,, tergantung dari perempuan itu sendiri, kalo dia mau dihormatin dan disamakan haknya, hendaknya dia menghormati juga orang lain dan menyamakan kewajiban pula
BalasHapusgitu deh...
hahah
salam kenal juga bung...wah hebat bung aan sekarang dah bisa nggaji orang buat ngepost...wkwkwkw
BalasHapusbtw...emansipasi wanita koq masih rancu ya bung...kl pria berambut panjang disebunnya gondrong...tp kl wanita koq tidak...gak adil
Salam kenal juga mas Faja.. Wah, enak nih, 1 blog digarap berdua.. bisa update posting setiap hari donk.. hehehe..
BalasHapusMet hari kartini aja deh, gpp yah..telat dikittt.. :)